Maret 14th, 2011 by sedekah
Seorang Tukang tambal ban. Lima
tahun yang lalu seringkali terkena obrakan, sebab lapaknnya atau tempatnya
berada di tepi jalan. Suatu ketika, di pagi hari, ada seorang temannya yang
mampir ke tempatnya.
Ketika mereka asyik berbicara, tiba-tiba seorang pengemis berdiri meminta. Si Tukang tambal ban merasa terganggu dengan kehadiran pengemis tersebut. Dia menolaknya, dan pengemis itupun berlalu. Demikian berturut-turut hingga ada beberapa pengemis yang selalu ditolaknya.
Ketika mereka asyik berbicara, tiba-tiba seorang pengemis berdiri meminta. Si Tukang tambal ban merasa terganggu dengan kehadiran pengemis tersebut. Dia menolaknya, dan pengemis itupun berlalu. Demikian berturut-turut hingga ada beberapa pengemis yang selalu ditolaknya.
Kawannya bertanya. “Disini banyak
pengemis yang datang ya?.”
“Wah, kalau dituruti, sehari bisa puluhan orang. Saya selalu menolak mereka. Buat apa mengajari orang malas.” Kata si Tukang tambal itu.
“Wah, kalau dituruti, sehari bisa puluhan orang. Saya selalu menolak mereka. Buat apa mengajari orang malas.” Kata si Tukang tambal itu.
Kawannya diam sejenak. Lalu berbicara, “Kalau boleh menyatakan, sebaiknya jika ada pengemis jangan ditolak. Meskipun seratus perak. berikanlah kepadanya!.”
Si tukang tambal ban tersenyum kecut
dan menanggapi dengan sikap dingin. “Pengemis sekarang bukanlah orang yang
benar-benar miskin. Di daerahnya, mereka meiliki rumah besar, ternak banyak dan
sawah luas. Mengemis dibuat sebagai mata pencaharian. Jika menuruti pengemis,
bisa bangkrut aku. Sedangkan sejak pagi tak satupun kendaraan yang berhenti
untuk mengisi angin ataupun minta ditambal.”
Temannya berusaha menasehati dengan
bijak,”Berpikir begitu boleh-boleh saja. Tetapi saya tetap yakin bersedekah itu
lebih bermanfaat dan menguntungkan diri sendiri. Aku menggemarkan diri
bersedekah sudah beberapa tahun lalu.”
“Kamu berbicara begitu karena memang
sudah pantas melakukan sedekah, sebab penghasilanmu besar, punya mobil dan
rumah bagus. Sedangkan diriku!? hanyalah seorang tukang tambal ban.tidak lebih
dan tidak kurang!”
“Aku dulu juga seperti dirimu…… Kau tahu kan? Kehidupanku compang camping. Sekarang makan, besok harus hutang ke tetangga. Tetapi aku tidak pernah berhenti bersedekah. Maaf, ini bukan pamer ataupun membanggakan diri, tetapi maksudku berbagi pengalaman denganmu. Setiap ke masjid, aku selalu memasukan uang meskipun hanya recehan. Setiap ada pengemis datang selalu kuberi jika memang masih ada uang, tetapi kalau lagi tidak ada …air minum saja juga sudah sangat senang. Itu kulakukan secara istiqomah, Dan sungguh, aku mengalami sebuah kejadian luar biasa. Rejekiki sangat lancar, setiap ada rencana selalu berhasil, setiap transaksi selalu sukses, apa saja yang kulakukan selalu membawa berkah hingga kamu lihat sendiri seperti sekarang ini.” kata temannya itu menambahkan.
Si tukang tambal ban tidak segera
menjawab. Dia tampaknya sedang berpikir. Temannya lalu berkata lagi, “Memberi
sedekah tidak harus kepada pengemis. kamu bisa mengulurkan tanganmu kepada sanak
saudara atau siapa saja.asalkan ikhlas.”
“Benar… dan sedekah yang lebih
tinggi harganya ialah ketika dirimu dalam keadaan sempit. Jangan menunggu kaya
baru bersedekah. Saat sekarang ini kamu harus memulainya.” begitu temannya
dengan sangat bijak dan mengena memberikan saran.
Si tukang tambal ban mulai bisa
menangkap makna memberi, dari kata-kata temannya tadi terutama kondisi dulu
yang menyatakan kalau dirinya juga berawal dari orang yang tidak punya karena
tidak punya pekerjaan tetap. Maka dia pantas dipercaya karena keadaanya memang
sudah mapan dibandingkan dengan dirinya.
Keesokan harinya si Tukang tambal
ban mulai menyediakan uang recehan. Selama uang recehan masih ada, ia tidak
pernah menolak pengemis yang datang. Kecuali jika sudah habis jatahnya baru ia
menolaknya, bahkan setiap pergi ke masjid dia tidak pernah melupakan sedekah ke
kotak infaq.
Semenjak itu rejekinya lancar. Setiap hari sejak pagi hingga petang sambung menyambung motor yang berhenti minta ditambalkan ataupun sekedar mengisi angin. Bahkan dua keponakannya yang menganggur diajaknya membantu pekerjaan itu.
Semenjak itu rejekinya lancar. Setiap hari sejak pagi hingga petang sambung menyambung motor yang berhenti minta ditambalkan ataupun sekedar mengisi angin. Bahkan dua keponakannya yang menganggur diajaknya membantu pekerjaan itu.
Sekarang si Tukang tambal ban telah
memiliki tabungan. Dari tabungannya dia mampu menyewa tempat dan membangunnya
meskipun tidak permanen. Sehingga dia kini bisa bekerja dengan tenang karena
tidak harus dikejar-kejar polisi pamong praja.
Seiring waktu, si Tukang tambal ban
tidak hanya melayani jasa menambal atau mengisi angin. tetapi berkembang
menjadi sebuah usaha ban kanisir. Bahkan dia mempunyai puluhan pelanggan
perusahaan jasa angkutan. Kalau dulu dia menerima uang recehan dari
pelanggannya. Sekarang dia menerima cek dari perusahaan sebagai pembayaran ban
kanisir. Anak buahnya semakin bertambah.
Keadaan hidup si tukang tambal ban
telah mapan. Dia bisa membeli rumah dan mobil. Setiap tahun zakat malnya
dibagikan di kampung halamannya untuk orang-orang miskin dan yatim piatu.
Bahkan dia telah berangkat haji bersama istrinya,
Si Tukang tambal ban berhasil
membuka tabir misteri keajaiban sedekah. Sekarang dia benar-benar percaya bahwa
sedekah itu sangat memberikan manfaat yang luar biasa seperti saran temannya
dulu yang diawalnya dia tanggapi dengan sikap dingin. Subhanalloh…………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar