Senin, 11 Juni 2012

MENGAPA RASA SENI ITU PENTING ?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam artikel terdahulu dijelaskan bagaimana para sufi begitu akrabnya dengan seni. Orang seperti Imam Al-Ghazali yang merupakan tokoh panutan ulama Sunni menghabiskan sejumlah halaman dalam suatu bab tersendiri tentang keutamaan seni.

Ia menyimpulkan bahwa orang yang tidak memiliki rasa seni di dalam jiwanya, dikhawatirkan hatinya kering. Seni di sini tentu seni yang dapat membangkitkan rasa kedekatan diri dengan Tuhan.

Tuhan menciptakan segala ciptaan-Nya dengan cinta maka sudah barang tentu semua ciptaan Tuhan itu indah. Jika Tuhan Maha Indah, sebagaimana terungkap di dalam namanya, Al-Asma Al-Husna (Nama-nama Indah Tuhan), maka sudah barang tentu pula Tuhan mencintai hamba-Nya yang menyerupakan diri dengan-Nya.

Memang seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Alquran. Tetapi, Alquran itu sendiri melampaui karya seni terbaik sekalipun. Baik pada masa turunnya maupun pada zaman-zaman sesudahnya.

Salah satu kemukjizatan Alquran ialah keindahan dan ketinggian nilai seni-sastra dan bahasanya. Suatu ketika, Musailamah Al-Kazzab, seorang penyair ulung di masa turunnya Alquran mencoba menantang keindahan Alquran dengan menyandingkan karyanya dengan surah paling pendek dalam Alquran, yaitu Al-Kautsar.

Namun, hasilnya sia-sia. Karyanya digantung di salah satu dinding Masjid Haram dan Surah Al-Kautsar di salah satu dinding lain. Para pencinta seni memberikan pujian luar biasa kepada bait-bait Surah Al-Kautsar, sementara syair Musailamah dicerca bahkan ada yang meludahinya.

Alquran juga mengisyaratkan bahwa suara yang merdu, yang menjadi unsur penting di dalam penampilan bakat seni, merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada orang-orang tertentu, sebagaimana ayat berikut, “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya." (QS. Fathir: 1). Dalam kitab Tafsir Fakhr Ar-Razi, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara yang bagus (al-shaut al-hasan).

Nilai-nilai keindahan dan kebaikan mendapatkan tempat yang positif di dalam Alquran, seperti diisyaratkan ayat, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba- Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf: 32).

Sindiran Alquran terhadap suara yang tidak memiliki unsur keindahan dan kasar ialah suara keledai, dinyatakan ayat berikut, “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS Luqman: 19).

Banyak hadis menerangkan bahwa musik dan seni suara mempunyai arti penting di dalam kehidupan manusia. Para Nabi yang diutus oleh Allah SWT semuanya memiliki suara yang bagus, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Qatadah, “Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan suaranya bagus.”

Di antara rahasia mengapa Bilal diangkat sebagai muadzin karena ia memiliki suara yang merdu dan berseni serta memiliki napas yang panjang. Nabi juga dalam mengutus seseorang menjadi imam di beberapa tempat, selain kepiawaian dan kewibawaan, juga diharapkan yang mampu membaca Alquran dengan baik, yang bisa menggugah orang yang mendengarnya.

Alquran sungguh indah dan memesona, akan tetapi jika disuarakan oleh orang yang tidak memiliki rasa dan jiwa seni maka sepertinya akan mencederai Alquran itu.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah memberikan dukungan terhadap musik dan seni suara meskipun juga melarang sejumlah seni yang menyerupai persembahan orang-orang musyrik. Dalam beberapa sikap Nabi terhadap seni, dapat disimpulkan bahwa Nabi bukan hanya pencinta seni tetapi juga pelaku seni.

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang menceritakan dua budak perempuan pada Hari Raya Id (Idul Adha) menampilkan kebolehannya bermain musik dengan menabuh rebana, sementara Nabi dan Aisyah menikmatinya. Tiba-tiba, Abu Bakar datang dan membentak kedua pemusik tadi, lalu Rasulullah menegur Abu Bakar dan berkata, “Biarkanlah mereka berdua hai Abu Bakar, karena hari-hari ini adalah hari raya.”

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang mengatakan, “Saya melihat Rasulullah SAW dengan menutupiku dengan surbannya sementara aku menyaksikan orang-orang Habsyi bermain di masjid. Lalu Umar datang dan mencegah mereka bermain di masjid, kemudian Rasulullah berkata, “Biarkan mereka, kami jamin keamanan wahai Bani Arfidah.”

Dalam riwayat Muslim dari Aisyah disebutkan kelompok seniman Habasyah itu menampilkan seni tari-musik pada Hari Ra ya Id di masjid.
Rasulullah memanggil Aisyah untuk menyaksikan pertunjukan itu, kepala Aisyah diletakkan di pundak Nabi sehingga Aisyah dapat menyaksikan pertunjukan tersebut.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya monumental Imam Al-Ghazali, ada suatu bab khusus tentang pentingnya seni di dalam Islam.
Ia mendasarkan pandangannya pada beberapa event penting pada masa Rasulullah selalu diisi dengan seni musik, seperti membiarkan orang melantunkan nyanyian dan syair ketika menunaikan ibadah haji, ketika prajurit melangsungkan peperangan dilantunkan tembang-tembang perjuangan untuk memotivasi prajurit di medan perang.

Kemudian nyanyian yang dilantunkan merasakan kesedihan karena dosa yang telah diperbuat, seperti dikutip Nabi Adam dan Nabi Daud menangisi dosa dan kekeliruannya dengan ungkapan-ungkapan khusus, nyanyian untuk mengiringi acara-acara kegembiraan seperti suasana hari raya, hari perkawinan, acara akiqah dan kelahiran anak, acara khitanan, pulangnya para perantau, dan khataman Alquran.

Dalam hadis riwayat Al-Baihaqi, sebagaimana dikutip Al-Ghazali, menceritakan bahwa ketika Rasulullah memasuki Kota Madinah, para perempuan melantunkan nyanyian di rumahnya masing-masing:
Telah terbit bulan purnama di atas kita, dari bukit Tsaniyatil Wada’.
Wajiblah bersyukur atas kita, selama penyeru menyerukan kepada Allah.

Hadis-hadis shahih dan pendapat ulama terkemuka di atas menunjukkan bahwa pertunjukan seni, termasuk di dalamnya permainan alat-alat musik dan nasyid, menyanyi dibenarkan Rasullah SAW.

Memang ada juga riwayat yang mencela alat bunyi-bunyian seperti seruling (mazamir), tetapi jika musik dan bunyi-bunyian itu dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang bertentangan dengan syariat, misalnya seni musik mengiringi ritual kemusyrikan, seni musik menimbulkan fitnah, mengajak orang untuk mabuk, merangsang pendengarnya untuk melakukan maksiat dan melupakan Tuhan.

Seni musik bagian dari kebudayaan dan peradaban Islam yang harus dilestarikan. Sudah saatnya juga seni musik dan berbagai bentuk seni lainnya dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun, bertutur kata halus, dan menampilkan jati diri dan inner beauty setiap orang.

Redaktur: Chairul Akhmad
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar